
"Selama menjadi awak pemadam, saya nyaris tidak bisa menikmati liburan ataupun berlebaran seperti pegawai lainnya. Malah hampir setiap kali lebaran saya harus siaga di posko," 31 TAHUN mengabdi menjinakan sijago merah. Jangankan cidera ringan sampai berat, nyawapun tak jarang terancam hilang. Bahkan, sejumlah bekas luka akibat kecelakaan selama bertugas, masih terlihat jelas di beberapa bagian tubuhnya. Namun, berbagai cerita duka selama melakoni peran penjinak api tersebut tidak menjadikan Jufri (50) takut dan kapok menjadi petugas pemadam kebakaran (Damkar). Malah sebaliknya, laki-laki yang akrab disapa Buyuang itu tak pernah berpikir untuk berhenti menjadi penjinak api. "Dunia fire fighter sudah saya rasakan sejak kehadiran mobil Damkar di daerah ini Nopember 1984 silam. Hingga kini saya tak pernah berpikir akan meninggalkannya," ungkap Jufri mengawali cerita dengan Tabloid Sinamar di posko Damkar di BPBD Kabupaten Lima Puluh Kota, kemarin. Lebih dari tiga dasawarsa menjadi awak pemadam, tentu sangat banyak suka duka yang dialami Jufri. Tak hanya selalu dibayangi resiko kerja, laki-laki yang akrab disapa Buyuang itu juga nyaris tidak bisa melalui hari-harinya seperti orang kebanyakan. Kalau pegawai lain senantiasa bisa pergi liburan dengan keluarganya, bagi Buyuang liburan adalah hal yang nyaris tidak pernah dinikmatinya. Jangankan liburan setiap minggu, pulang kampung ke Talu Pasaman ataupun berlebaran bersama keluarga besar setiap tahunnya hampir tak pernah dirasakan bapak enam anak ini. Malah sebaliknya, setiap hari lebaran petugas Damkar itu senantiasa dituntut pimpinannya untuk lebih meningkatkan kesiagaannya. Sebab, pengalaman mereka selama ini membuktikan tingkat kejadian kebakaran di hari lebaran sangat tinggi. Bahkan hampir tiap hari raya terjadi peristiwa kebakaran. "Selama menjadi awak pemadam, saya nyaris tidak bisa menikmati liburan ataupun berlebaran seperti pegawai lainnya. Malah hampir setiap kali lebaran saya harus siaga di posko," ujar Buyuang yang juga sering dipanggil Boy. Bahkan terkadang untuk memenuhi undangan pesta pernikahan saja Buyuang tidak leluasa karena tugas menuntutnya harus selalu berada di posko. Sehingga setiap kali ada laporan kejadian kebakaran, ia selalu siap untuk berangkat ke tempat kejadian. "Setiap kali ada panggilan, dalam kondisi apa saja atau sedang melakukan kegiatan apapun, seketika itu juga saya harus segera berangkat ke lokasi kebakaran. Semua itu harus dilalui dengan rela," tutur Buyuang sembari menghirup kopi. Duka lain, sebutnya, meski selalu berusaha datang secepatnya, namun tetap saja ada masyarakat yang menyebut pasukan biru itu terlambat tiba di lokasi peristiwa. Buntutnya, saat menunaikan tugas berat yang mempertaruhkan nyawa itu Buyuang tak jarang mendengar sindiran dari sesorang. "Kendati sudah datang secepatnya, tapi kadang masih saja terdengar nada tidak mengenakan dari warga. Namun semua itu tidak pernah mengurangi semangat kami. Sebab kami menganggap tugas pemadam ini ibadah," tutur Buyuang. Diakui suami Nurmaini (41) itu, menjadi petugas pemadam memang penuh resiko dan duka. Namun, ketika kembali dari tugas, mereka akan selalu merasakan kepuasan bathin dan kebanggaan tak ternilai karena mereka baru saja pulang membantu orang yang ditimpa bencana. Risiko petugas pemadam memang berat, taruhannya nyawa, terlebih ketika berhadapan dengan api yang mengamuk hebat. Namun, Buyuang terlanjur mencintai dunia fire fighter tersebut. Bahkan kecintaannya terhadap tugas itu juga ditulakan pada putera sulungnya Ari Efendi (29) juga mengabdikan dirinya pada Damkar Kabupaten Lima Puluh Kota sejak sembilan tahun lalu. Bicara asal mula kehadirannya sebagai awak pemadam, Buyuang berkisah awalnya ia bekerja sebagai sopir truk sampah milik bagian umum kantor Bupati Lima Puluh Kota. Begitu mobil pemadam datang pada bulan Nopember 1984, ia mendapatkan perintah untuk menjadi anggota pemadam. "Mobil pemadam yang pertama sekali itu dibeli pada zaman Bupati Burhanuddin Putiah dengan harga sekitar Rp75 juta. Saya yang sebelumnya sopir truk langsung diperintahkan oleh Kepala Kamawil Hansip yang saat itu dijabat Kapten Zainal Abidin untuk menjadi sopir mobil berjenis Isuzu TX atau kapalo buayo tersebut," kenang Buyuang. Masih jelas dalam ingatan laki-laki berkumis itu saat pertama sekali ia bertugas menyiram api yang bergejolak hebat di Los Pasar Terang Bulan Pasar Serikat Payakumbuh sekitar 30 tahun silam. Kendati tidak pernah mendapatkan pelatihan memadamkan api, namun Buyuang berserta rekannya yang keseluruhan hanya berjumlah enam orang berupaya berlajar sendiri. "Dulunya kami hanya berlajar secara otodidak. Tak ada pelatihan seperti sekarang," ujarnya. Selain mengingat kenangan memadamkan sijago merah pertama kalinya, Buyuang juga tak pernah lupa kenangannya pemadam puluhan tahun silam. Tak hanya melayani kejadian di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota tetangga Payakumbuh, Buyuang juga sering memacu memacu mobil kapayo buayonya hingga ke Kota Padang, Solok, Batu Sangkar, Bukittinggi dan Padang Panjang. "Dulu kami selalu datang ke lokasi kebakaran hebat yang terjadi di daerah atau kota lainnya hingga ke Kota Padang. Sebab, saat itu jumlah mobil Damkar ditiap daerah rata-rata hanya satu unit saja. Karena saling membantu dengan daerah lain, tak heran kami para anggota Damkar di Sumatera Barat ini saling kenal akrab," ucapnya. Kisah menariknya lagi, ulas Buyuang, menjadi pemadam tempo dulu jauh lebih sulit ketimbang dewasa ini. Sebab, saat itu ia hanya mendapatkan gaji sekitar Rp20 ribu saja setiap bulannya. Uang sebesar itu beraasl dari gaji sebanyak Rp15 ribu dan tunjangan sopir sejumlah Rp5 ribu. Gaji tersebut lebih rendah dari harga satu emas 24 karat yang saat itu berharga Rp30 ribu per emas. Meski menyadari uang sebanyak itu tidak mampu menutupi kebutuhan biaya hidupnya, namun Buyuang tetap bersemangat dan bangga menjadi anggota pemadam. "Untuk menutupi kekurangan gaji yang kecil itu saya berusaha menjadi sopir truk angkutan pasir. Bahkan puluhan tahun lalu itu saya sempat lama menjadi sopir truk pengangkut bibit penghijauan setiap kali bebas piket," kenang Buyuang. Meski tak muda lagi, namun semboyan berpantang pulang sebelum api padam masih menjadi harga mati bagi Buyuang. Bahkan setiap kali kejadian, ia masih lebih sigap melarikan mobil beratnya ke lokasi dengan kecepatan tinggi. "Buyuang adalah personil paling senior yang patut ditiru anggota lainnya. Dedikasinya patut dipuji. Dengan pengalamannya, Buyuang benar-benar menjadi tempat bertanya bagi anggota dan pimpinan," ungkap Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Lima Puluh Kota Firmasyah. (hendri gunawan)Â